Rabu, 30 Maret 2016

Merek Toshiba Akan Berubah Jadi Milik Perusahaan China

Merek produk elektronik Toshiba akan berubah menjadi milik perusahaan China. Hal itu terjadi seiring kesepakatan akuisisi antara Toshiba dan Midea.

Raksasa elektronik asal China, Midea Group, mengakuisisi sekitar 80% saham Toshiba Home Appliances, jaringan bisnis produk elektronik rumah tangga dari konglomerat Jepang Toshiba yang sedang menurun kinerjanya, senilai US$ 473 juta. Sedangkan sisa 19,9% saham masih tetap dipegang Toshiba Lifestyle Product & Services Corporation untuk mempertahankan namanya.

Menurut pernyataan bersama kedua perusahaan, dengan akuisisi tersebut, Midea dapat menggunakan lisensi merek Toshiba untuk produk elektronik rumah tangga selama 40 tahun, memperoleh lebih dari 5.000 aset properti intelektual, dan diberi wewenang untuk menggunakan hak paten Toshiba.

Akuisisi senilai US$ 473 juta atau Rp 6,15 triliun itu merupakan ekspansi terbaru perusahaan China seiring rangkaian akuisisi lainnya di luar negeri. Perusahaan China yang didukung pemerintahnya saat ini gencar mengakuisisi perusahaan di luar negeri untuk mendorong kontribusi perekonomian di luar daratan China, terutama di sektor consumer product.

Perusahaan China telah menjadi berita utama global dengan akuisisi multi-miliar dolar dalam beberapa tahun terakhir, termasuk BUMN ChemChina yang menawar raksasa pestisida dan benih tanaman asal Swiss, Sygenta, senilai US$ 43 miliar. Jika terjadi kesepakatan, akuisisi ChemChina terhadap Sygenta menjadi yang terbesar sepanjang sejarah perusahaan China mengakuisisi perusahaan di luar negeri.

Selain ChemChina, Haier juga pada Januari 2016 mengumumkan akuisisi terhadap lini bisnis General Electric di industri peralatan dan permesinan sebesar US$ 5,4 miliar.

Midea Chairman Fang Hongbo mengatakan akuisisi unit Toshiba - yang dia disebut ikon merek - itu adalah tonggak penting dalam upaya Midea melakukan globalisasi usaha. "Akuisisi ini akan secara signifikan memperkuat daya saing kami di Jepang, Asia Tenggara, dan pasar global," ucapnya.

Di Indonesia, Toshiba juga bernasib tidak bagus. Toshiba harus menutup salah satu pabriknya dan menjualnya kepada perusahaan China, yakni Haier dan Skywatch.(*)

Selengkapnya baca di sini

Jualan Mie Instan, Omzet Indofood Capai Rp 20,6 Triliun

Omzet bisnis mi instan Grup Indofood yang dimotori PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menembus Rp 20,6 triliun sepanjang 2015. Dengan jumlah tersebut, omzet penjualan mi instan berkontribusi 65% terhadap total penjualan Indofood CBP pada tahun lalu yang mencapai Rp 31,74 triliun.

Anthoni Salim, Direktur Utama dan CEO Indofood CBP Sukses Makmur, menjelaskan perseroan pada tahun lalu membukukan kenaikan penjualan neto konsolidasi sebesar 5,7% menjadi Rp 31,74 triliun dibanding 2014 sebesar Rp 30,02 triliun. Kontribusi penjualan divisi mi instan masih menjadi yang terbesar, yakni 65%, disusul dairy (19%), makanan ringan (6%), penyedap makanan (2%), nutrisi & makanan khusus (2%), dan minuman (6%) dari total penjualan neto konsolidasi.

Laba usaha tumbuh 25,3% menjadi Rp 3,99 triliun dari sebelumnya Rp 3,19 triliun. Margin laba usaha naik menjadi 12,6% dari 10,6%. Laba bersih meningkat 13,5% menjadi Rp 3 triliun dari sebelumnya 2,64 triliun seiring kenaikan margin bersih dari 8,8% menjadi 9,5%.

"Kami senang Indofood CBP berhasil mencatatkan kinerja yang baik pada 2015 di tengah kondisi ekonomi makro yang penuh tantangan. Kami gembira dengan perkembangan ekonomi dalam negeri yang terjadi hingga saat ini dan berharap 2016 akan menjadi tahun yang lebih baik. Namun, kami akan tetap waspada terhadap tantangan baru yang mungkin akan timbul," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Indofood Group melalui anak usahanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), masih menguasai pasar mi instan di Indonesia, meski persaingan di sektor tersebut makin ketat. Dengan kapasitas produksi mi instan lebih dari 15 miliar bungkus per tahun, Indomie yang diproduksi Indofood CBP menguasai pangsa pasar mi instan nasional sebesar 69,6% pada 2007 dan kemudian naik menjadi 75,2% di 2011 dan terakhir sebesar 74%, menurut riset duniaindustri.com.

Indofood CBP Sukses Makmur merupakan perusahaan yang menerima penggabungan empat perusahaan di bawah Salim Group. Empat perusahaan itu adalah PT Indosentra Pelangi, PT Gizindo Primanusantara, PT Indobiskuit Mandiri Makmur, PT Ciptakemas Abadi. Proses penggabungan empat perusahaan itu dimulai pada September 2009 dan tuntas 17 Maret 2010.

Indofood CBP sendiri memproduksi mi instan dengan sejumlah merek andalan seperti Indomie, Supermi, Sarimi, Sakura, Pop Mie, dan Pop Bihun.

Namun, sejak 2003 dominasi Indofood di pasar mi instan mulai mengalami penurunan dengan hadirnya Mie Sedap milik PT Sayap Mas Utama, anak usaha Wings Group. Penurunan pangsa Indofood di mi instan terlihat pada 2002 pangsa pasanya 90%, kemudian menurun menjadi 75% pada 2003, dan pada 2007 sekitar 73,7% dengan menggabungkan pangsa Indomie, Supermie, Sarimi, dan Pop Mie.

Pada 2005, PT Indofood Sukses Makmur sempat menguasai sekitar 78% pangsa pasar mie instan di Indonesia. Dominasi pangsa pasar tersebut berkurang dari sebelumnya hampir 90% seiring dengan desakan KPPU agar persaingan harga yang lebih sehat. Apalagi, beberapa pendatang baru dalam bisnis mie cepat saji ini pun mulai bermunculan.

Sempat ditarik oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Taiwan ternyata tidak memengaruhi pangsa Indomie maupun Indofood. Perbedaan standar yang ditetapkan di Indonesia dan Taiwan soal penggunaan pengawet Nipagin atau Methyl p-hydroxybenzoate merupakan hal yang umum terjadi sehingga terjadi perbedaan penerapan Codex Alimentarius Commission (CAC) oleh masing-masing negara. melihat hal tersebut, peningkatan penjualan Indomie diyakini akan kembali naik.

Dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, dominasi produk-produk Indofood Grup (Indomie, Supermi, Sarimi, Sakura, Pop Mie) di pasar mie instan diprediksi masih akan sulit dipatahkan. Sebab, perusahaan pelopor mie instan dan terbesar di dunia itu sudah memiliki brand equity dan cocok dikonsumsi di Indonesia.(*)

Baca selengkapnya di sini

Selasa, 29 Maret 2016

Fakta dan Data Menarik dibalik PHK Industri Elektronik

Sebanyak 100 investor dan pimpinan perusahaan asal Korea Selatan di Indonesia berkumpul di salah satu hotel bintang lima di daerah Senayan, dipimpin Dubes Korsel untuk Indonesia, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna menstabilkan perekonomian nasional. Pasalnya, perlambatan perekonomian nasional dalam dua tahun terakhir telah menurunkan omzet industri elektronik di negeri ini sehingga banyak perusahaan di industri ini yang melakukan layoff.

"Mereka (100 investor Korsel) sangat khawatir dengan kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan perlambatan ekonomi Indonesia sehingga mendesak pemerintahan Jokowi untuk bekerjasama guna mengatasi masalah tersebut," kata sumber duniaindustri.com yang mengetahui pertemuan pada akhir bulan lalu.

Menurut mereka, salah satu investor asal Korsel yang cukup gelisah antara lain di sektor industri elektronik. Perlambatan perekonomian nasional ditambah upah pekerja naik serta tekanan inflasi dan depresiasi kurs menekan industri elektronik nasional. Bahkan sejumlah prinsipal elektronik asal Jepang sudah terlebih dahulu menutup pabrik. "Investor elektronik asal Korsel seperti Samsung terus mencermati kondisi ini. Mereka tidak mau investasi mereka lebih dari Rp 30 triliun harus menguap di Indonesia," ujarnya.

Karena itu, lanjut dia, 100 investor Korsel bertemu Jokowi untuk merumuskan kembali iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Berbagai hambatan dan tantangan perlu diselesaikan bersama agar membuat iklim usaha yang lebih kondusif.

Seperti diketahui, pada Februari 2016 dua prinsipal elektronik asal Jepang, yakni Toshiba dan Panasonic, terpaksa menutup pabriknya di Indonesia awal tahun ini, sehingga menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 2.500 karyawan. Kondisi itu memperparah iklim investasi di industri elektronik, setelah sebelumnya prinsipal Jepang lainnya yakni Sanyo terpaksa menghentikan operasional pabriknya di Indonesia.

"Pabrik Toshiba dan Sanyo sudah dijual ke investor China, yakni Haier dan Skywatch," kata sumber duniaindustri.com menambahkan.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, dengan ditutupnya pabrik Toshiba di Cikarang, maka tinggal menyisakan satu perusahaan di Tanah Air. “Tak lebih dari sebulan, dua raksasa elektronik Jepang, di Cikarang pabrik Toshiba telah resmi tutup. Tak ada lagi pabrik Toshiba di Indonesia kecuali Toshiba Printer di Batam,” ujarnya.

Iqbal menuturkan, pabrik Toshiba di Cikarang tersebut merupakan pabrik terbesar yang ada di luar Jepang dan sebelumnya jadi terbesar di Indonesia dengan jumlah karyawan terkena PHK sekitar 900 orang. “Toshiba yang tutup ini pabrik terbesar di dunia, di Luar Jepang yang terbesar di Indonesia. Hari ini tutup resmi, mulai April awal proses negosiasi pesangon dan pelimpahan wewenang sedang proses negosiasi,” katanya.

Sementara, lanjut dia, Panasonic juga menutup dua pabrik yang berada di Pasuruan dan Cikarang dengan memakan korban PHK sekitar 1.600 orang. “Jadi dua perusahaan Panasonic Lightning di Pasuruan lebih dari 600-an orang dan di Cikarang sekitar 1.000 orang. Di tiga perusahaan dari dua raksasa elektronik ini berarti hampir 2.500 lebih PHK,” pungkasnya.

PT Toshiba Consumer Products Indonesia, salah satu perusahaan manufacturing Jepang yang bergerak di bidang industri elektronik, mengklarifikasi data yang disebutkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan pihaknya. Perusahaan membantah ada 900 karyawan terkena PHK.

Salah satu eksekutif Toshiba Consumer Products yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, total karyawan perusahaan memang sebanyak 900 orang. Namun, akhir Maret nanti hanya akan ada PHK terhadap sekitar 360 orang.

“Total buruh Toshiba sekarang 900 orang, yang di PHK akhir Maret nanti 360-an saja,” ujarnya saat dihubungi wartawan di Jakarta.

Pihak Toshiba juga menjelaskan PHK dilakukan bukan karena pabrik mau ditutup tapi akibat akan diambil alih oleh perusahaan asal China. Selain itu, produksi TV tahun lalu diakui turun menjadi 30.000 unit dari total kapasitas 350.000 unit setahun.

Setelah diakuisisi nanti, produksi TV masih dengan merk Toshiba dan tidak menutup kemungkinan akan produksi barang selain TV. Peluang mempekerjakan karyawan lagi juga tetap ada. “Kemungkinan akan produksi barang-barang selain TV juga dan bukannya tidak mungkin untuk memperkerjakan lebih banyak buruh,” pungkasnya.

Di tempat lain, PT Panasonic Gobel Indonesia membenarkan melakukan penyesuaian terhadap karyawannya. Namun penyesuaian karyawan ini bukan karena anjloknya perekonomian, melainkan karena merger yang dilakukan oleh Panasonic itu sendiri.

Associate Director PT Panasonic Gobel Indonesia Achmad Razaki menjelaskan, merger yang dilakukan tersebut adalah pabrik Panasonic yang ada di Jakarta dengan pabrik yang ada di Surabaya. Hal ini karena Panasonic berkonsentrasi pada satu pabrik, yakni yang ada di Surabaya.

“Sejauh yang saya tahu, itu benar tutup tapi merger, Panasonic dengan Panasonic. Satu Jakarta dan satu lagi Surabaya. Ini semua dialihkan ke Surabaya karena konsentrasinya di sana,” ujar Achmad.

Dia mengungkapkan, pihaknya memberi opsi kepada para karyawan yang ada di Jakarta, apakah mau ikut bergabung dengan Panasonic yang ada Surabaya atau lepas dari Panasonic. Jika tak mau bergabung, maka terpaksa perusahaan memberhentikan karyawannya tersebut.

“Logika sederhananya, tidak mungkin semuanya dibawa ke Surabaya. Ada opsi, kalau yang masih mau gabung, silakan ikut ke Surabaya. Kalau tidak, terpaksa kita lakukan penyesuaian,” tutur Achmad.(*)

Sumber: di sini

Senin, 28 Maret 2016

Riset Peluang Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Proyek Infrastruktur 2015-2019

Riset Peluang Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Proyek Infrastruktur 2015-2019 ini data, kajian, analisis, laporan, dan outlook proyek-proyek strategis di sektor infrastruktur di Indonesia. Berbagai proyek infrastruktur, mulai dari proyek prioritas, proyek strategis, dan proyek infrastruktur per provinsi ditampilkan dalam riset ini, dipadu dengan analisis bisnis infrastruktur, market size transportasi dan logistik, serta analisis anggaran infrastruktur dibanding tingkat pengangguran di Indonesia.

Riset ini dimulai dari kondisi perekonomian Indonesia tahun ini diprediksi masih diliputi ketidakpastian, terutama dari sisi global. Meski demikian ekonomi Indonesia diyakini akan lebih baik dibanding tahun lalu. Sisi eksternal yang berpengaruh pada ekonomi domestik, tak bisa dilepaskan dari harga komoditas yang masih belum pulih dan merosotnya ekonomi China yang merupakan salah satu pangsa pasar utama ekspor komoditas Indonesia. (halaman 2)

Penguatan rupiah ini selain didorong oleh faktor domestik, karena meningkatnya kepercayaan investor sejalan dengan ekonomi makro yang lebih baik, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal. Pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2015 yang sebesar 5,04% telah meningkatkan kepercayaan investor, karena diyakini titik terendah pertumbuhan ekonomi telah terlewati. (halaman 3-4)

Pada halaman 5-7 dibahas data Kementerian Keuangan, anggaran infrastruktur sejak 2009 hingga 2015 memang terus menunjukkan kenaikan. Tetapi kenaikan signifikan memang baru terjadi pada 2015, dari Rp 206,6 triliun pada 2014 menjadi Rp 290,3 triliun. Sedangkan tahun-tahun sebelumnya kenaikannya hanya di kisaran Rp 9,7 triliun hingga Rp 31,3 triliun. Data tersebut dipadukan dengan tren pertumbuhan ekonomi nasional dan ekspektasi ke depan periode 2007-2019. (halaman 8) Di halaman 9, terdapat riset eksklusif terkait tren kenaikan anggaran infrastruktur dibanding tingkat pengangguran di Indonesia periode 2005-2016.

Masuk pada pembahasan proyek infrastruktur, riset ini menampilkan rencana pembangunan infrastruktur laut (halaman 10), infrastruktur pangan (halaman 11), dan transportasi darat (halaman 12). Di halaman 13-14 ditampilkan secara eksklusif 38 proyek kerjasama pemerintah & swasta 2015-2016, baik yang telah ditawarkan maupun yang akan ditawarkan. Di halaman 15-16, dipaparkan 30 proyek infrastruktur prioritas 2016-2019. Pada halaman 17-19 ditampilkan proyek infrastruktur jalan dan jembatan per provinsi pada 2016. Khusus terkait kerjasama pemerintah dan swasta ditampilkan secara detail pada halaman 20-24.

Riset ini diperkuat dengan data tren pertumbuhan pasar (market size) sektor transportasi dan logistik di Indonesia 2009-2019. Pada 2014, pasar sektor transportasi dan logistik diestimasi Rp 1.810 triliun dengan pertumbuhan 13,2%. Pada 2015, market size tersebut naik 15,2% menjadi Rp 2.086 triliun. Pada 2016, angka tersebut diproyeksi tumbuh 15% menjadi Rp 2.399 triliun, dan terus naik hingga mencapai Rp 3.680 triliun di 2019. Rata-rata pertumbuhan tahunan (CAGR) sektor transportasi dan logistik di Indonesia diperkirakan 15,2% periode 2014-2019.

Selain itu, data ini dilengkapi data-data infrastruktur pendukung transportasi dan logistik di Indonesia, seperti sebaran bandara hingga 2030. Jumlah bandara umum saat ini sebanyak 189 bandara, yang terdiri atas 26 bandara komersial (dikelola PT Angkasa Pura) dan 1.643 bandara nonkomersial. Pada 2030, akan bertambah 44 bandara baru, sehingga total jumlah naik menjadi 233 bandara. Juga ditampilkan ekspansi PT Angkasa Pura I dan II dalam ekspansi bandara, meliputi: kebutuhan investasi, penambahan kapasitas, dan persentase pertumbuhan.

Di samping itu, ditampilkan infrastruktur pelabuhan yang cukup vital mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia (95.181 km). Jumlah pelabuhan saat ini mencapai 2.392 pelabuhan yang terdiri dari 111 pelabuhan komersial, 1.481 pelabuhan nonkomersial, dan 800 terminal khusus. Terdapat rencana penambahan 91 pelabuhan baru di Indonesia bagian timur dengan investasi Rp 3,37 triliun.

Riset sebanyak 41 halaman ini berasal dari BPS, Kementerian Keuangan, Bappenas, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perindustrian, Asosiasi Logistik Indonesia, dan diolah duniaindustri.com. Indeks database industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)

Sumber: di sini

Minggu, 27 Maret 2016

Riset Tren Produksi Oleokimia dan Biodiesel 2011-2017

Riset Tren Produksi Oleokimia dan Biodiesel 2011-2017 ini menampilkan data, analisis, dan outlook industri oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, minyak goreng) serta biodiesel di Indonesia, dari mulai tren produksi, tren investasi, peningkatan kapasitas produksi, para pemain besar, persebaran lokasi pabrik, tren ekspor, impor, serapan tenaga kerja, serta berbagai informasi lain seperti regulasi dan target 2030.

Riset ini dimulai dengan tren kenaikan kapasitas produksi yang signifikan pada empat industri, yakni refinery (fraksionasi) atau minyak goreng, fatty acid, fatty alcohol, dan methyl ester (biodiesel). (halaman 2)

Pada 2014 dan 2015 terjadi peningkatan investasi yang signifikan di industri oleokimia dan biodiesel hingga Rp 24 triliun yang mendorong kapasitas produksi nasional tumbuh rata-rata 55% (minyak goreng 80%, fatty acid 47%, fatty alcohol 85%, dan methyl ester atau biodiesel 66%). Duniaindustri.com secara eksklusif membuat riset tren produksi stearic acid, glycerine, fatty acid, dan fatty alcohol dari 1995-2016. (halaman 3)

Data tersebut kemudian dianalisis lebih mendalam pada halaman 4. Demikian juga pada halaman 5 dibuat riset khusus terkait tren produksi biodiesel di Indonesia periode 2011-2016.

Untuk memperkuat riset tersebut, duniaindustri.com menampilkan persebaran kapasitas produksi industri oleokimia di Indonesia, terutama untuk produksi fatty acid, fatty alcohol, dan produk akhir. Fokus persebaran industri oleokimia didominasi di Sumatera Utara. Total kapasitas industri oleokimia di Indonesia mencapai 1,599 juta ton per tahun. Terdapat 9 pemain besar di antaranya PT Musim Mas dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, PT Ecogreen 419 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia 132 ribu ton per tahun, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik perusahaan tersebut.

Riset ini juga menjabarkan peta persebaran industri biodiesel Indonesia periode 2014-2016. Pada 2014, total kapasitas industri biodiesel di Indonesia mencapai 4,99 juta ton atau setara 5,67 juta kiloliter, dengan perincian Riau dan Kepri 2,61 juta ton, Jawa Bagian Timur 1,57 juta ton, Jawa Bagian Barat 364 ribu ton, dan daerah lain-lain 233 ribu ton. Terdapat 17 pemain skala besar di antaranya PT Wilmar Bioenergy Indonesia di Riau dengan kapasitas 1,3 juta ton per tahun, PT Musim Mas di Medan dengan kapasitas 235 ribu ton per tahun, PT Eterindo Whanatama Gresik dengan kapasitas 80 ribu ton per tahun, PT Wilmar Nabati Indonesia di Gresik (1,3 juta ton per tahun), PT Sumi Asih Oleochem di Bekasi (100 ribu ton per tahun), PT Darmex Biofuels di Cikarang (150 ribu ton per tahun), dan lainnya, lengkap dengan peta lokasi masing-masing pabrik.

Pada 2015, terjadi penambahan kapasitas biodiesel sebesar 2,32 juta ton per tahun sehingga total kapasitas nasional naik menjadi 7,32 juta ton. Terdapat 11 pemain skala besar yang melakukan penambahan kapasitas pada 2015 antara lain PT Oleokimia Sejahtera Mas di Dumai dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun, PT Darmex Biofuels di Dumai sebesar 410.500 ribu ton per tahun, PT Indo Biofuels Energy di Kalbar (100 ribu ton/tahun), PT Permata Hijau Palm Oleo di Medan (140 ribu ton/tahun), PT Nusa Energy di Kaltim (100 ribu ton/tahun), PT Bits Energy di Kaltim (100 ribu ton/tahun), PT Multi Biofuel Indonesia di Sulut (160 ribu ton/tahun).

Pada halaman 9, ditampilkan profil singkat industri minyak goreng, oleokimia, dan biodiesel dari mulai tren investasi, jumlah unit usaha (perusahaan), kapasitas produksi, produksi riil, konsumsi domestik, ekspor, impor, dan tenaga kerja pada 2011-2017.

Riset ini juga dilengkapi dengan proyeksi produksi CPO Indonesia pada 2016 sebesar 35 juta ton, tumbuh 9,3% dibanding proyeksi tahun ini 32 juta ton, menurut data United State Department of Agriculture (USDA). Kenaikan tersebut akan mendorong peningkatan produksi CPO global sebesar 5,96% menjadi 65,1 juta ton pada 2016 dibanding proyeksi tahun ini 61,44 juta ton.

Dengan demikian, produksi CPO Indonesia tahun depan diperkirakan menyumbang 53,7% dari total produksi CPO global. Sementara Malaysia, produsen CPO terbesar kedua setelah Indonesia, diperkirakan memproduksi CPO sebanyak 21 juta ton pada 2016, dengan kontribusi 32,25% terhadap pasar global.

Selain itu, ditampilkan data proyeksi harga CPO dunia pada 2016, pengaruh El-Nino dan sentimen program biodiesel. Serta, dampaknya terhadap perkembangan ekspor dan tren permintaan global.

Juga ditampilkan cakupan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dengan komposisi provinsi terbesar berdasarkan kebun sawit. Luas lahan kebun kelapa sawit di Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai 11,4 juta hektare, dengan komposisi 5,9 juta hektare lahan swasta, 4,7 juta hektare lahan rakyat, dan 0,8 juta hektare lahan BUMN.

Di sisi lain, ditampilkan juga tren investasi di sektor hulu dan sektor hilir industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam lima tahun terakhir, insentif investasi yang disiapkan pemerintah, serta proyeksi tren ke depan. Tidak ketinggalan, dipaparkan kawasan industri khusus industri kelapa sawit yang sedang dibangun pemerintah, target 2030, dan tren mata rantai industri sawit modern.

Riset sebanyak 27 halaman ini berasal dari berbagai sumber antara lain regulator di Indonesia, BPS, BKPM, kementerian terkait, serta asosiasi industri, seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), diolah duniaindustri.com. Indeks database industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)

Baca selengkapnya di sini
* Butuh data industri dan riset pasar lainnya, total ada 131 database, klik di sini

Jumat, 25 Maret 2016

Riset: Market Size Industri Baja Diestimasi US$ 7,7 Miliar pada 2017

Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017 ini menampilkan riset independen, data, analisis, kajian, dan outlook secara komprehensif terkait seluruh informasi mengenai industri baja di Indonesia, mencakup highlights, tren pasar baja di Indonesia, tren konsumsi baja dan produksi baja serta ketergantungan impor, nilai pasar (market size) industri baja nasional, pangsa pasar produsen baja per segmen, tren harga baja global dan harga baja lokal, profil singkat market leader di industri baja Indonesia, serta prospek dan tantangan industi ini ke depan.

Sebagai gambaran, industri baja merupakan industri strategis. Sektor ini memainkan peran utama dalam memasok bahan-bahan baku vital untuk pembangunan di berbagai bidang mulai dari penyediaan infrastruktur (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), produksi barang modal (mesin pabrik dan material pendukung serta suku cadangnya), alat transportasi (kapal laut, kereta api & relnya, otomotif), manufaktur (elektronik, permesinan, turbin dan pembangkit), hingga persenjataan. Atas perannya yang sangat penting tersebut, keberadaan industri baja layak disebut mother industry (ibu dari industri).(profil ringkas halaman 3-6)

Pada halaman 7 ditampilkan chart (infografik) terkait struktur industri baja nasional mulai dari pertambangan bijih besi, pengolahan pellet, iron making, steel making, hingga produk jadi. Di halaman 8, ditampilkan tren perkembangan industri baja global, dari mulai tren penurunan harga jual hingga level terendah di akhir 2015 hingga permintaan (demand) di China yang anjlok sehingga mengakibatkan oversupply. Juga ditampilkan tren harga baja ekspor China dan harga impor baja ASEAN.

Di halaman 9, ditampilkan tren konsumsi produk baja akhir di Indonesia yang pada 2014 mencapai 12,9 juta ton, sementara produksi baja lokal hanya 5,5 juta ton, sehingga terjadi defisit pasokan sekitar 7,4 juta ton yang masih bergantung impor. Juga dijelaskan sejumlah katalis atau faktor pendorong konsumsi produk baja di Indonesia.
Sementara menurut kompilasi data yang diperoleh duniaindustri.com, konsumsi produk baja di Indonesia pada 2015 diestimasi 15,3 juta ton, naik dari tahun sebelumnya 14,2 juta ton. (halaman 10) Secara khusus, duniaindustri.com membuat riset terkait pasar baja lokal untuk proyeksi 2016-2017 disertai dengan tren produksi periode 2007-2017. (halaman 11).

Di halaman 12, duniaindustri.com menampilkan hasil riset terkait nilai pasar (market size) industri baja di Indonesia yang dihitung berdasarkan tingkat konsumsi nasional serta rata-rata harga baja global. Pada 2017, menurut perhitungan duniaindustri.com, total market size industri baja nasional diperkirakan mencapai US$ 7,7 miliar. Di halaman 13, ditampilkan infografik terkait utilisasi pabrik baja di Indonesia mulai dari iron makin, steel making, rolling mill, pipe making, galvanizing mill, nails, wires, bolds & nuts, coil centers, lengkap dengan kapasitas produksi nasional.

Di halaman 14, ditampilkan tren harga baja dunia yang mulai menunjukkan rebound pada Februari-Maret 2016. Tren harga baja hulu dan baja hilir juga dipaparkan lebih detail di halaman 15. Sedangkan konsumsi baja per segmen ditampilkan lebih detail dalam tabel di halaman 16. Sementara di halaman 19-30 ditampilkan profil singkat market leader di industri baja hulu dan hilir di Indonesia, lengkap dengan kinerja keuangan dan kapasitas produksinya.

Riset Komprehensif Industri Baja 2007-2017 sebanyak 36 halaman ini berasal dari riset duniaindustri.com dengan dukungan data yang berasal dari Kementerian Perindustrian, Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), BPS, WHO dan Bank Dunia, dan sejumlah perusahaan baja di Indonesia. Indeks data industri merupakan fitur terbaru di duniaindustri.com yang menampilkan puluhan data pilihan sesuai kebutuhan users. Seluruh data disajikan dalam bentuk pdf sehingga mudah didownload setelah users melakukan proses sesuai prosedur, yakni klik beli (purchase), klik checkout, dan isi form. Duniaindustri.com mengutamakan keabsahan dan validitas sumber data yang disajikan. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada duniaindustri.com.(*)

Sumber: di sini

Kamis, 24 Maret 2016

Tekanan Berat di Industri Minuman hingga Awal 2016

Hampir seluruh segmen kategori di industri minuman menderita pertumbuhan negatif untuk penjualan sepanjang 2015 hingga awal 2016, baik secara nilai maupun volume. Minuman karbonasi menderita pelemahan penjualan paling parah, menurut analisis Kantar Wordpanel. Sebagian besar konsumen menurunkan belanja minuman karbonasi, sementara konsumen lainnya mengalihkan ke aim minum dalam kemasan (AMDK), teh siap minum (ready to drink tea), kopi siap saji, dan jus siap saji.

Kondisi itu sejalan dengan pelemahan yang terus terjadi di industri consumer goods di Indonesia. Pasar belum bereaksi positif sejalan dengan penurunan daya beli masyarakat secara luas.

Menurut data riset Kantar Worldpanel yang diterima duniaindustri.com, pada 12 minggu hingga akhir Januari 2016, penjualan makanan (food) anjlok -9,8% secara volume dan turun -5,5% secara nilai. Padahal pada periode yang sama 2015, penjualan makanan masih tumbuh 7,5% secara nilai, meski turun -1,4% secara volume.

Penjualan industri minuman (beverage) juga turun -5,6% secara volume, dan anjlok -5,2% secara nilai pada awal 2016. Padahal periode yang sama di 2015, penjualan minuman masih tumbuh 5,9% secara nilai dan 0,6% secara volume.

Penjualan produk dairy juga mengalami kondisi serupa. Pada awal 2016, penjualan dairy merosot -4% secara nilai dan -3,1% secara volume. Kejatuhan yang paling parah dialami penjualan produk rumah tangga (home care) yang -2,7% secara nilai dan -5,2% secara volume. Padahal pada periode yang sama 2015, penjualan home care tumbuh 15,1% secara nilai dan 11,2% secara volume. Penjualan produk perawatan tubuh (personal care) juga turun -1,6% secara nilai dan -6% secara volume pada awal 2016, dibanding periode yang sama 2015 tumbuh 7% secara nilai dan 2,8% secara volume.

Pada awal 2016, hanya produk susu kelapa (coconut milk) yang masih menikmati pertumbuhan pesat sebesar 4% secara volume dan 3% secara nilai.

Pelemahan pasar consumer goods di awal 2016, tepatnya hingga Februari 2016, melanjutkan pelemahan yang terjadi sebelumnya. Volume penjualan barang konsumsi dengan perputaran cepat (fast moving consumer goods/FMCG) pada Desember 2015 tercatat melanjutkan penurunan dari sisi volume, atau dalam tren negatif. Menurut Kantarworldpanel dalam FMCG monitor, seiring kenaikan harga jual produk consumer goods per unit, konsumen cenderung untuk mengurangi belanja pada Desember 2015.

Tidak heran, nilai pasar (market value) penjualan barang konsumsi harian di Indonesia turun -1,2% pada awal Desember 2015 (12 minggu hingga 6 Desember 2015) dibanding periode yang sama tahun lalu. Hal itu terjadi meski inflasi pada Desember 2015 turun menjadi 3,35% dibanding November 2015 sebesar 4,89%. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Desember 2015 tercatat menguat 1% menjadi Rp 13.926 dibanding November 2015.

Penurunan nilai pasar industri consumer goods pada Desember 2015 lebih disebabkan pelemahan volume penjualan sekitar -4,5%, meski harga jual per unit mengalami peningkatan sekitar 3,5%. Pelemahan volume penjualan pada Desember 2015 merupakan yang terparah dalam dua tahun terakhir, meski harga jual telah rebound pada periode tersebut.(*)

Sumber: di sini

Rabu, 23 Maret 2016

Oleochemical and Biodiesel Industry Outlook 2015-2016

These data showing the distribution of the oleochemical industry in Indonesia, especially for the production of fatty acid, fatty alcohol, and the final product. The focus of the spread of the oleochemical industry is dominated in North Sumatra. The total capacity of the oleochemical industry in Indonesia reached 1,599 million tons per year. There are 9 major players in between PT Musim Mas with capacity of 450 thousand tons per year, PT Ecogreen 419 thousand tons per year, PT Wilmar Nabati Indonesia 132 thousand tons per year, complete with a map of the location of each of the company’s factory.

These data also describe the distribution map Indonesian biodiesel industry 2014-2016 period. In 2014, the total capacity of the biodiesel industry in Indonesia reached 4.99 million tons, equivalent to 5.67 million kiloliters, with details of Riau and Riau 2.61 million tons, Eastern Java 1.57 million tons, Western Java 364 thousand tons, and other areas 233 thousand tons. There are 17 large-scale players including PT Wilmar Bioenergy Indonesia in Riau with capacity of 1.3 million tons per year, PT Musim Mas in the field with a capacity of 235 thousand tons per year, PT Eterindo Whanatama Gresik with a capacity of 80 thousand tons per year, PT Wilmar Indonesian Vegetable in Gresik (1.3 million tonnes per year), PT Sumi Asih Oleochem in Bekasi (100 thousand tons per year), PT Darmex Biofuels in Cikarang (150 thousand tons per year), and others, complete with a map of the location of each each plant.

In 2015, the addition of biodiesel capacity of 2.32 million tons per year, bringing the total national capacity rose to 7.32 million tonnes. There are 11 players large-scale capacity expansion in 2015, among others PT Oleochemicals Sejahtera Mas in Dumai with a capacity of 500 thousand tons per year, PT Darmex Biofuels in Dumai amounted to 410 500 thousand tons per year, PT Indo Biofuels Energy in West Kalimantan (100 thousand tons / years), PT Permata Hijau Palm Oleo in Medan (140 thousand tons / year), PT Nusa Energy in Kaltim (100 thousand tons / year), PT Bits Energy in Kaltim (100 thousand tons / year), PT Multi Biofuel Indonesia in North Sulawesi (160 thousand tons / year).

This data is also equipped with projection Indonesian CPO production in 2016 amounted to 35 million tonnes, up 9.3% compared to the projected 32 million tonnes this year, according to data from the United State Department of Agriculture (USDA). The increase will push the global CPO production increase of 5.96% to 65.1 million tonnes in 2016 compared to this year’s projection of 61.44 million tons.

Thus, Indonesia’s CPO production is expected next year accounted for 53.7% of total global CPO production. While Malaysia, the second largest palm oil producer after Indonesia, is expected to produce 21 million tons of CPO in 2016, with a contribution of 32.25% to the global market.
In addition, the data show the world CPO price forecast in 2016, the influence of El Nino and sentiment biodiesel program. As well, the impact on the development of exports and global demand trends.

Also featured coverage of oil palm plantations in Indonesia, the largest province of the composition based on an oil palm plantation. The land area of ​​oil palm plantations in Indonesia in 2015 is estimated at 11.4 million hectares, with a composition of 5.9 million hectares of private land, 4.7 million hectares of the people, and 0.8 million hectares of state-owned companies.

On the other hand, also displayed a trend of investment in upstream and downstream sectors of the palm oil industry in Indonesia in the last five years, investment incentives prepared by the government, as well as projections of future trends. No lag, presented a special industrial area of ​​oil palm industry which is being built by the government, the target in 2030, and the trend of the modern oil industry chain.

As many as 23 pages of data is derived from various sources such as regulators in Indonesia, BPS, BKPM, relevant ministries, as well as industry associations, processed duniaindustri.com. Download database industry is a new feature in duniaindustri.com featuring dozens of data options to suit the needs of users. All data is presented in the form of easily downloadable pdf so that once users perform the process according to the procedure, ie click buy (purchase), click checkout and fill out the form. Duniaindustri.com priority to the legitimacy and validity of the data sources are presented. Thank you for your trust to duniaindustri.com.(*)

Source click here

Senin, 21 Maret 2016

Mengupas PT Unilever Indonesia Tbk, Market leader Consumer Goods

PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) merupakan produsen barang-barang konsumsi yang sifatnya fast moving consumer goods (FMCG), atau produk yang sifatnya cepat habis, seperti produk perawatan tubuh, produk perawatan rumah tangga, dan makanan. Berdiri sejak 1933 dengan nama Lever's Zeepfabrieken NV di Jakarta, Unilever menjadi salah satu market leader di industri consumer goods di Indonesia. Unilever Indonesia menggelar IPO pada 1982 dengan melepas 15% saham ke publik dan tercatat di Bursa Efek Indonesia.

Saat ini Unilever Indonesia menguasai 39 merek produk consumer goods untuk 14 kategori produk. Dari jumlah tersebut 71% merupakan produk home and personal care (seperti Rinso, Domestos, Molto, Surf, Vixal, Wipol, Lux, Rexona, Lifebuoy, Sunsilk, Ponds, Dove, Tresemme, Pepsodent, Axe, Clear, Vaseline, Citra, Closeup, Zwitsal), sedangkan 21% merupakan produk foods and refreshment (seperti Sariwangi, Bango, Blueband, Royco, Buavita, Walls, Lipton, Magnum, Cornetto, Paddlepop, Feast, Populaire, Viennetta).

Perusahaan mengklaim produk-produknya tersedia di 1 juta toko/gerai dan setiap rumah di Indonesia sedikitnya menggunakan satu produk Unilever. Di 12 kategori produk consumer goods, merek yang diusung Unilever mendominasi pasar Indonesia. Di kategori skin care, hair care, skin cleansing, deodorants, oral care, dish wash liquid, fabrication condition, savoury, tea, spread, ice cream, merek Unilver menduduki peringkat pertama di pangsa pasar Indonesia. Hanya di kategori fabrication clean, merek/produk Unilever menempati posisi pangsa pasar kedua.

CONSUMER INDUSTRY OUTLOOK
Di tengah perlambatan perekonomian yang disertai fluktuasi nilai kurs mata uang dan kejatuhan harga komoditas, industri consumer goods di Indonesia ikut terdampak dari kondisi tersebut. Secara total, pasar fast moving consumer goods (FMCG) di Asia, terutama Indonesia, diperkirakan tumbuh melambat pada tahun ini menjadi 4,6%, hanya separuh dari persentase pertumbuhan dalam dua tahun lalu (10% pada 2014 & 2013), menurut kompilasi data duniaindustri.com dari lembaga riset Kantar Worldpanel Indonesia.

Fast moving consumer goods mencakup barang-barang konsumsi yang dibutuhkan sehari-hari atau dibutuhkan secara berkala dalam periode waktu tertentu yang singkat. Barang konsumsi jenis itu mencakup produk-produk makanan (food), peralatan rumah tangga (household), dan perawatan tubuh (personal care). Berbeda dengan barang tahan lama (durable goods), barang-barang fast moving consumer goods memiliki umur simpan yang singkat, baik sebagai akibat dari permintaan konsumen tinggi maupun karena produk yang cepat rusak.

Pasar FMCG di Indonesia tumbuh rata-rata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 16,6% periode 2004-2010, di tengah fluktuasi inflasi yang dapat menahan maupun menggerus daya beli masyarakat. Sementara periode 2011 hingga saat ini, pertumbuhan pasar diperkirakan sekitar 13%.

Penjualan produk rumah tangga (home care) tumbuh paling tinggi di segmen produk konsumsi harian (fast moving consumer goods) sepanjang 2015, baik menurut nilai maupun volume.

Sepanjang tahun lalu, penjualan produk home care tumbuh 5,3% secara nilai dan 7% secara volume, meski melambat dibanding 2014 yang tumbuh 17,6% secara nilai dan 10% secara volume.

Setelah produk home care, penjualan personal care (perawatan tubuh) tumbuh tertinggi kedua, dengan mencatatkan pertumbuhan 2% secara nilai dan 2,5% secara volume, juga melambat dibanding 2014 sebesar 14,2% secara nilai dan 3,2% secara volume.

Sementara penjualan produk makanan (foods), dairy, dan minuman (beverages) tercatat tumbuh minus. Penjualan makanan tumbuh -0,4% secara nilai dan -4,9% secara volume sepanjang 2015, sementara tahun sebelumnya tercatat tumbuh 14,4% secara nilai dan 2,9% secara volume. Penjualan produk dairy pada 2015 tumbuh -2,4% secara nilai dan -2,3% secara volume, sementara tahun sebelumnya tumbuh 17,8% secara nilai dan 6% secara volume. Demikian juga penjualan produk minuman hanya tumbuh 1,3% secara nilai sepanjang 2015 dan -3,1% secara volume, sementara tahun sebelumnya tumbuh 10,5% secara nilai dan 3,2% secara volume.

Pertumbuhan negatif tiga produk barang konsumsi harian (fast moving consumer goods/FMCG) itu disebabkan terdampak paling besar terhadap perlambatan ekonomi nasional.(*)

Baca selengkapnya di sini

Minggu, 20 Maret 2016

Inilah Penguasa Pasar Deterjen di Indonesia

Tiga raksasa consumer goods di Indonesia, yakni Wings Group, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Kao Indonesia, makin ketat bersaing di pasar diterjen di indonesia. Tahun lalu, pasar deterjen nasional diprediksi tumbuh 6% menjadi Rp 9,54 triliun, dibandingkan 2013 sebesar Rp 9 triliun.

Berdasarkan data penelusuran Duniaindustri.com, Wings Group masih menguasai pasar deterjen nasional (mencakup deterjen bubuk dan krim) dengan pangsa 52,6%. Wings Group mengandalkan produk utama seperti Wings, Ekonomi, Daia, dan So Klin untuk bersaing dengan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang menguasai 33% pasar deterjen nasional. Unilever mengandalkan produk deterjen seperti Rinso, Surf, dan Omo.

Sedangkan produsen lainnya, seperti PT Kao Indonesia dengan merek Attack dan Dino, menguasai 10%-11% pasar deterjen nasional. Sisanya dikuasai sejumlah produsen seperti PT Sinar Antjol dengan merek B-29, dan PT Jayabaya Raya dengan merek Suroboyo, yang menguasai 4,4% pasar deterjen di Indonesia.

Persaingan di industri deterjen sangat tinggi. Penguasaan pasar suatu produk dapat berubah dengan cepat. Perpaduan pemasaran, mulai dari produk, promosi, harga, hingga akses jangkauan oleh konsumen menjadi strategi penting bagi perusahaan-perusahaan produsen deterjen untuk mempertahankan volume penjualan serta posisi pangsa pasar.

Salah satu faktor yang akan dihadapi oleh industri deterjen saat ini adalah kenaikan bahan baku dan kemasan. Perusahaan harus mampu menyeimbangkan kenaikan harga dengan daya beli konsumen serta strategi pesaing. Industri deterjen juga menghadapi peralihan pilihan merek oleh konsumen yang cepat.

Unilever dan Wings Group memiliki strategi yang berbeda untuk mempertahankan dominasi di pasar deterjen nasional. Jika Unilever menggandeng produsen elektronik terutama mesin cuci untuk memasarkan produk barunya, Wings Group justru memperkuat ekspansi ke sektor hulu, yakni bahan baku deterjen.

Lewat anak usahanya yakni PT Unggul Indah Cahaya, Wings Group memiliki pabrik bahan baku deterjen berupa alkylbenzene terbesar di Asia Pasifik, dengan kapasitas terpasang lebih dari 200 ribu metrik ton per tahun. Selain itu, Wings Group menjalin kerja sama dengan Djarum Group dan Lautan Luas Group untuk membeli Ecogreen Oleochemicals dari Salim Group, yang merupakan produsen bahan baku deterjen, sabun, dan body care dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun.

Strategi Kao
Tidak mau ketinggalan dengan Wings Group dan Unilever, Kao berekspansi dengan menambah pabrik dan kapasitas produksi. Pada pertengahan tahun 2014, PT Kao Indonesia, meresmikan pabrik kedua di Karawang Jawa Barat senilai US$ 128 Juta. Rencananya pabrik tersebut akan memproduksi deterjen dan popok bayi.

Musa Chandra, Vice President Marketing PT Kao Indonesia, mengatakan, keberadaan pabrik baru ini dapat meningkatkan pendapatan perusahaan. Pasalnya, pangsa pasar di Indonesia untuk kedua produk tersebut terbilang cukup tinggi. “Deterjen pasarnya di Indonesia Rp 5 triliun per tahun, Popok bayi hampir Rp 6 triliun per tahun,” kata dia.

Namun demikian, ia mengatakan dari potensi yang besar tersebut perseroan hanya mampu menyerap 10%-11% untuk deterjen dan popok sebanyak 5%.

Hal tersebut karena selama ini perusahaan hanya menjual popok impor didominasi kelas menengah atas. Sementara untuk deterjen yang diproduksi masih kualitas premium sehingga pihaknya mengeluarkan produk terbaru kualitas biasa untuk menjangkau semua lapisan.

Presiden Direktur Kao Indonesia Michio Koike berharap keberadaan pabrik ini mampu meningkatkan penjualan seiring kenaikan jumlah produksi. Namun pihaknya belum merinci peningkatan penjualan tersebut hanya menyebut kenaikan sebesar 2 digit. “Jadi sekarang angka penjualan belum bisa kita sampaikan, pertumbuhannya 2 digit. Dalam 3 tahun belakang 15%,” tukasnya. Sebagai tambahan, dengan adanya pabrik ini akan menyerap pekerja baru sebanyak 300 hingga 400 tahun 2014.(*)

Sumber: di sini

Mengenal Sosok Perusahaan Semen Terbesar di Indonesia

PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) merupakan produsen semen nasional. Selain memproduksi semen, Perusahaan juga menjalankan bisnis produksi nonsemen yang terdiri dari penambangan batu kapur dan tanah liat; pembuatan kantong kemasan semen; dan pengembangan kawasan industri. Produk semen di pasarkan di Indonesia dan wilayah Asia. Kapasitas produksi per 2011 mencapai 20 juta ton semen.

CEMENT INDUSTRY OUTLOOK
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mendukung akselerasi pembangunan infrastruktur dan konstruksi di Indonesia merupakan prospek utama bagi permintaan semen di Indonesia. Meningkatnya aktivitas industri properti juga merupakan sisi permintaan bagi industri semen. Konsumsi semen per kapita Indonesia berada di kisaran angka 143 kilogram per tahun, masih berada di bawah rata-rata konsumsi semen negara ASEAN yang berada pada kisaran angka 150-800 kilogram per kapita.

Melihat konsumsi semen Indonesia yang masih rendah, maka konsumsi yang lebih tinggi akan terjadi, seiring dengan aktivitas pembangunan dan perbaikan infrastruktur seperti jalan, perumahan, apartemen, dan lain sebagainya.

Volume semen yang diekspor hasil produksi dari produsen semen Indonesia terus mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir, seiring dengan permintaan semen Indonesia yang terus meningkat. Volume semen ekspor menurun 37% CAGR 2007-2011.

Sementara itu, konsumsi semen di Indonesia tercatat tumbuh 9% CAGR 2007-2011 dengan konsumsi per 2011 sebesar 48 juta ton. Pada semester I 2012, konsumsi semen Indonesia naik 15% dengan konsumsi sebesar 25,9 juta ton. Selama bulan Juli sampai Agustus 2012, konsumsi semen meningkat 3% dibanding periode yang sama tahun 2011.

Menurut data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pangsa pasar penjualan semen di Indonesia cukup besar, sehingga mendorong sejumlah produsen semen asing untuk membangun pabrik di Indonesia. Pada 2012, ASI mencatat sejumlah produsen baru yang akan membangun pabrik di Indonesia. Total kapasitas produksi terpasang seluruh produsen semen di Indonesia pada 2012 adalah 56,82 juta ton, dan kebutuhan semen diperkirakan 52,8 juta ton.

Rata-rata konsumsi semen mengalami pertumbuhan 10% setiap tahun, diperkirakan kebutuhan semen mencapai 70,2 juta ton pada 2015.

Masih berdasarkan data ASI, total penjualan semen di Indonesia sepanjang Januari-Agustus 2015 mencapai 37,26 juta ton, turun -0,3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penjualan semen pada Agustus 2015 naik 15% menjadi 5,34 juta ton dibanding bulan yang sama tahun lalu. Hal itu menandakan penjualan semen di Indonesia mulai rebound setelah sebelumnya tercatat tumbuh -4,2% hingga Juli 2015.

SEMEN INDONESIA’S BUSINESS MODEL
Semen Indonesia merupakan produsen semen nasional yang memproduksi berbagai tipe semen seperti seperti: semen Portland Tipe I (OPC/Ordinary Portland Cement), semen Portland Tipe II-V (non-OPC), Portland Composite Cement (PPC), Portland Pozzolan Cement (PPC), Special Blended Cement, dan lainnya.

Produk semen yang dihasilkan memiliki tujuan penggunaan yang berbeda-beda, mulai dari untuk pembangunan rumah, jalan raya, dermaga, saluran irigasi, Bandar udara, hingga konstruksi sumur minyak di bawah permukaan laut. Selain memproduksi semen, Semen Indonesia juga memproduksi kantong semen, penambangan tanah liat, batu kapur dan batu bara, serta pengembangan kawasan industri.

Dalam menjalankan usaha, Semen Indonesia didukung oleh entitas anak yang masing-masing bergerak di segmen yang berbeda. Dalam produksi semen, Semen Indonesia memiliki 2 anak perusahaan produsen semen yang terkenal di Indonesia, yaitu PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa. Kontribusi Semen Indonesia terhadap volume penjualan semen adalah sebesar 50% pada semester I 2012. Kemudian disusul oleh volume penjualan Semen Padang dan Semen Tonasa.

Total pendapatan terbesar Semen Indonesia berasal dari produksi semen sebesar 98%. Sisa hanya 2% berasal dari produk nonsemen seperti pembuatan kantong kemasan semen, pengembangan kawasan industri, dan jasa pertambangan (penambangan batu kapur, tanah liat dan batu bara).

Penjualan Semen Indonesia didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia, kemudian juga diekspor ke Asia dengan tujuan utama kawasan Asia Tenggara. Penjualan terbesar adalah penjualan di luar Jawa dengan kontribusi sebesar 50,7% dari total penjualan. Produk semen sebagian besar distribusikan dalam bentuk zak dan sebagian dalam bentuk curah.

Pada 2011, pendapatan Semen Indonesia senilai Rp 16,4 triliun, atau meningkat 14% dari tahun lalu dengan volume penjualan semen sebesar 19,7 juta ton. Utilitas produksi Semen Indonesia mencapai 99% pada 2011 dengan kapasitas produksi sebesar 20 juta ton.

FINANCIAL HIGHLIGHT
Penjualan Semen Indonesia pada semester I 2012 tumbuh sebesar 13,8%, menurun tipis dibandingkan pertumbuhan penjualan pada periode yang sama tahun 2011 sebesar 14,2%.
Laba bersih tumbuh sebesar 12,3%. Laba bersih bertumbuh, ditengah profitabilitas yang mengalami penurunan. Margin kotor turun sebesar 20 basis poin dan margin bersih menurun 33 basis poin.

Pertumbuhan laba bersih Semen Indonesia selama semester I 2012 lebih ditopang oleh kenaikan penjualan. Semen Indonesia berhasil menjual semen sejumlah 10,3 juta ton pada semester I 2012, naik 12% dibanding periode yang sama tahun 2011. Imbal hasil kepada pemegang saham (ROE) menurun 137 basis poin.

Pada semester I 2012, efektivitas penggunaan aset untuk meningkatkan laba bersih oleh Semen Indonesia menurun. Return on Assets (ROA) tercatat menurun 94 basis poin secara tahunan. Pembangunan Pabrik Tuban IV di Jawa Timur dan Tonasa V di Sulawesi Selatan yang belum menghasilkan laba menjadi penekan ROA Semen Indonesia sejak tahun lalu.

Posisi likuiditas juga menurun, bahkan Semen Indonesia menggunakan utang untuk pembangunan pabrik dan pengadaan mesin penunjang pembangunan pabrik baru.

Meski demikian, posisi likuiditas Semen Indonesia masih berada pada posisi yang solid. Rasio lancar perusahaan sebesar 1,78 kali, dengan rasio kas 0,81 kali. Rasio utang menurut Debt to Equity Ratio semester I 2012 hanya sebesar 0,52 kali, dan rasio utang berbunga hanya 0,15 kali.

Semen Indonesia memiliki arus kas yang sehat yang ditandai dengan arus kas yang positif. Semen Indonesia juga aktif melakukan ekspansi dan pendanaan perusahaan. Perusahaan bekerja dengan modal kerja positif.(*)

Sumber: di sini

Jumat, 18 Maret 2016

Djarum dan Sampoerna Paling Royal Pasang Iklan di Televisi

Walaupun sepanjang 2015 iklim bisnis relatif melambat, masih ada saja perusahaan atau pemilik brand yang belanja iklan TV-nya menembus angka Rp 1 triliun per tahun. Brand itu adalah Djarum, dengan total belanja sampai dengan November 2015 mencapai Rp 1.005.243.000.000. Agresivitas Djarum ini disusul oleh Sampoerna yang nyaris menyentuh angka Rp 1 triliun.

Djarum menghabiskan total belanja iklan TV sampai November 2015 mencapai Rp 1.005.243.000.000. Agresivitas Djarum ini disusul oleh Sampoerna yang nyaris menyentuh angka Rp 1 triliun.

Yang menarik dari daftar brand-brand berkantung tebal ini, ada dua brand pendatang baru yang langsung masuk dalam 10 besar. Keduanya dari jenis industri yang relatif baru tumbuh di Indonesia yakni e-commerce/digital business. Kedua nama itu Tokopedia dan Traveloka, yang masing-masing ada di posisi 9 dan 10.

Penikmat belanja iklan TV terbesar, tak pelak lagi adalah para Stasiun TV. Tahun ini, yang mereguk belanja iklan terbesar adalah RCTI. Total selama Januari – November 2015, RCTI memperoleh Rp 9,943,993,379,993. RCTI dibuntuti rival terkuatnya, SCTV yang menangguk Rp Rp 8,890,007,759,993.

Satu hal yang menarik dari tahun 2015 adalah tetap tumbuhnya iklan, di industri yang relative baru di Indonesia, e-commerce. Jika tahun sebelumnya, Lazada dan Tokobagus (kini Olx) mendominasi. Maka tahun ini, semakin banyak pemain yang ikut serta. Ada Tokopedia, Olx, Bukalapak, Blibli, Traveloka, Trivago dan lain-lain. Di antara semuanya, ada 6 perusahaan e-commerce yang menginvestasikan dana promosinya lebih dari Rp 100 miliar di televisi.

Pertumbuhan industri periklanan Indonesia dalam sewindu terakhir terhitung menakjubkan. Jika pada 2008 total belanja iklan hanya mencapai Rp 41 triliun, maka pada 2014 angka itu tersulap naik lebih dari tiga kali lipat, menjadi Rp 150 triliun. Pertumbuhan bisnis yang luar biasa ini tentunya membuka peluang-peluang baru bagi para pelaku bisnis.

Dalam gelombang tersebut, Adstensity, sebuah aplikasi media monitoring khusus iklan-iklan TV bersama Adstream Worldwide, sebuah perusahaan data aset manajemen global bagi industri advertising dan marketing yang berkantor pusat di Inggris, sepakat untuk melakukan kerja sama strategis dalam penyediaan data dan tools yang mendukung industri periklanan TV di Indonesia. Hingga 1 Januari 2015 - 30 November 2015, perolehan iklan TV baru mencapai Rp 65,559 triliun.

Dalam kerja sama itu, Adstensity akan memberikan feed data-data seputar post placement iklan TVC (ads spot) secara real-time. Di sisi lain, Adstream Worldwide akan memberikan akses terhadap dinamika pre-placement TV ads yang ada di industri periklanan TV Indonesia.

Adanya kerja sama ini akan membuat layanan Adstream Worldwide maupun Adstensity menjadi saling melengkapi. Konsumen Adstream kini bisa memonitor aktivitas post-placement industri periklanan di televisi Indonesia. Akses ini menjadikan konsumen dapat memetakan dinamika yang tengah terjadi secara real-time.

Kerja sama ini secara simbolis dimulai dengan dengan dilakukannya konferensi pers bersama antara Adstensity yang diwakili oleh CEO PT Sigi Kaca Pariwara A Sapto Anggoro dengan CEO Adstream Asia, Christine Sterk, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ke depan, Adstream bersama Adstensity berkomitmen untuk membawa layanan ini secara bersama-sama dalam lingkup yang lebih luas, di level regional, Asia Pasifik.

Sementara itu, dari data tayangan iklan TVC/ads spot yang dikumpulkan Adstensity hingga 30 November 2015, bisa dipastikan belanja iklan TV untuk tahun ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun lalu belanja iklan TV mencapai Rp 99 triliun (66% dari total pendapatan iklan nasional), maka tahun ini diperkirakan hanya akan mereguk Rp 71.4 triliun.

Pasalnya, hingga 1 Januari 2015 – 30 November 2015, perolehan iklan TV baru mencapai Rp 65,559 triliun. Terdapat gap sejumlah Rp 33,441 Trilliun di satu bulan terakhir tahun 2015. Dengan rata-rata belanja per bulan sebesar Rp, 5.959 Trilliun dapat dipastikan, tambahan pendapatan di bulan Desember 2015 ini, tetap takkan menyamai angka belanja iklan TV pada tahun lalu.

Hasil ini bukan saja lebih menurun, namun juga meleset jauh dari target yang pernah disebutkan PPPI. Sebelumnya, pada akhir November 2014, Ketua PPPI Harris Thajeb menyebut target belanja iklan nasional untuk tahun 2015 adalah Rp 172,5 triliun, dengan sumbangan iklan TV mencapai Rp 113,5 triliun. Dihitung dari target ini, perolehan iklan TV 2015, hanya tercapai 62,9%.

Adstensity memantau aktivitas penyiaran TVC /Ads spot yang tayang di 13 TV nasional selama 24 jam/sehari. Data yang terkumpul, diolah dengan penghitungan kualitatif yang dilakukan secara otomatis, sehingga dinamika penayangan iklan TVC bisa diketahui secara real-time. Penghitungan belanja iklan didasarkan atas harga published rate yang dikeluarkan masing-masing Stasiun TV.

Perlambatan ekonomi boleh jadi penyebab utama, yang ditandai oleh memburuknya kurs tukar rupiah terhadap dolar Amerika, sehingga banyak rencana belanja Iklan tidak dapat dieksekusi dengan baik.(*)

Sumber: di sini

Rabu, 16 Maret 2016

Wow Omzet Industri Kemasan Plastik Diestimasi Rp 72,8 Triliun

Omzet industri kemasan plastik di Indonesia tahun ini diestimasi mencapai Rp 72,8 triliun, meningkat 4% dibanding tahun lalu Rp 70 triliun, menurut data asosiasi industri. Proyeksi pertumbuhan itu telah dikoreksi turun dari target semula 8%, seiring perlambatan perekonomian nasional serta depresiasi kurs rupiah yang berkelanjutan.

Ariana Susanti, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (Indonesian Packaging Federation/IPF), menjelaskan produsen industri kemasan mengaku pesimistis dengan target pertumbuhan yang ditetapkan awal tahun ini, yakni 8%. “Kami pesimistis target pertumbuhan tahun ini sebesar 8% dapat tercapai dengan turunnya permintaan serta nilai tukar rupiah yang mengerek ongkos produksi,” paparnya.

Karena itu, lanjut dia, asosiasi industri kemasan merevisi turun target pertumbuhan menjadi hanya berkisar 3%-4% dari tahun lalu.

Dia menjelaskan selama ini pemilik merek yang membutuhkan kemasan mengontrak pemesanan untuk jangka waktu minimal satu tahun. Namun dengan lesunya konsumsi pasar domestik, pelaku industri tersebut menurunkan produksi dan berdampak pada kontrak pada industri pengemasan yang saat ini hanya dipesan untuk jangka waktu tiga bulan hingga enam bulan.

“Biasa brand owner pesannya jangka panjang, sudah ditentukan harga. Tapi dengan nilai tukar seperti ini kan perlu penyesuaian. Dulu kami berani stok bahan baku karena akan dipesan lagi. Sekarang karena dolar fluktuatif, tidak berani lagi,” ujarnya.

Saat ini masih banyak bahan baku yang diimpor seperti biji plastik yang 50% diimpor, kaleng dengan standar tertentu. Adapun bahan baku yang tersedia sepenuhnya di dalam negeri seperti kertas dinilai masih mahal.

Selain itu, lanjut dia, banyak juga pesanan kemasan yang lari keluar negeri. Misalnya seperti kemasan premium maupun jenis produk lain yang dipesan dalam jumlah yang sedikit.

“Mesin kita pada umumnya memang untuk yang produksi dalam jumlah banyak, misalnya untuk minimal pemesanan 500.000 unit, yang dibutuhkan hanya 20.000 unit. Tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan,” ujarnya.

Di sisi lain, mahalnya biaya logistik dan distribusi menaikkan biaya produksi hingga 40%. Jika dibandingkan negara sekawasan seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, ongkos logistik hanya berkisar 12%. Akibatnya, konsumen pengemasan menurunkan porsi biaya untuk spesifikasi kemasan seperti penggunaan varian warna.

Tambah Ekspansi
PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo Tbk (DAJK), produsen industri kemasan, menyiapkan anggaran belanja modal (capital expenditure) tahun ini sebesar Rp 900 miliar. Anggaran belanja modal tersebut akan dialokasikan untuk pembangunan pabrik di Subang, Jawa Barat, dan rencana akuisisi dua perusahaan.

Witjaksono, Direktur Bussiness Development Dwi Aneka, mengatakan tahun ini perseroan menganggarkan belanja modal sebesar Rp 900 miliar yang berasal dari pinjaman perbankan dan kas internal. “Alokasi belanja modal tahun ini sebesar Rp 550 miliar untuk rencana pembangunan pabrik di Subang dan sebesar Rp 125 miliar untuk mengakuisisi perusahaan sejenis yang memiliki divisi usaha flexible packaging dan offset printing. Selain itu, kami mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 225 miliar untuk mengakuisisi perusahaan dengan divisi usaha stationery. Kami saat ini juga tengah menjajaki pinjaman sindikasi maupun personal existing bank untuk pendanaan tersebut,” kata dia.

Dia mengatakan perseroan mengalokasikan anggaran belanja modal sebesar Rp 550 miliar untuk pembelian tanah, bangunan, dan mesin untuk pembangunan pabrik baru di Subang yang direncanakan dimulai pada akhir tahun ini dan ditargetkan selesai dalam 1,5 tahun. Perseroan berencana membangun pabrik seluas 30-40 hektare secara bertahap. Dana pembangunan pabrik tersebut berasal dari kas internal dan pinjaman perbankan. Pabrik baru di Subang itu nantinya digunakan untuk anak usaha baru perseroan bernama PT Inpack Subang Perkasa (ISP).

Hingga saat ini perseroan telah memiliki tiga pabrik yang berlokasi di Tangerang. Hingga akhir tahun lalu, ketiga pabrik tersebut memiliki total kapasitas terpasang sebesar 83.000 ton per tahun. Sedangkan total kapasitas terpakai untuk ketiga pabrik tersebut sebesar 74.700 ton per tahun.
Rencananya, perseroan akan menambah dua lini mesin corrugated carton di pabrik baru di Subang. Total kapasitas terpasang untuk kedua mesin tersebut sebesar 10.000 ton per bulan. Artinya, apabila pabrik baru tersebut telah beroperasi, perseroan dapat meningkatkan kapasitas terpasang sebesar 203.000 ton per tahun.

Tahun ini, perseroan juga berencana membentuk dua anak usaha lainnya yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa, yakni PT DAJK Portal Indonesia dan PT DAJK Distributor Indonesia yang bergerak di bidang distribusi perdagangan dan ekspor impor perdagangan.

Selain itu, perseroan merambah pasar ritel sebagai strategi tahun ini untuk menciptakan penetrasi yang lebih besar lagi untuk pasar yang sudah ada saat ini. Strategi merambah pasar ritel diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada penjualan secara konsolidasi 5%-10% dari total penjualan tahun ini.(*)

Sumber: di sini
Pembuatan Custom Packaging
Produksi Packaging Murah

Tren Pasar Industri Tekstil dan Fashion di Indonesia

Berbicara industri tekstil dan fashion di Indonesia, nilai pasar (market size) yang ditawarkan sangatlah menggiurkan. Hal itu wajar mengingat industri tekstil dan fashion merupakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia, meski daya belinya tidak sebesar Singapura.

Nilai pasar industri tekstil dan produk fashion di Indonesia pada 2015 diestimasi mencapai US$ 15,19 miliar atau setara Rp 208 triliun (kurs Rp 13.700/US$), menurut perhitungan tim riset duniaindustri.com. Nilai pasar tersebut tumbuh 4,7% dibanding 2014 sebesar US$ 14,51 miliar, meski dengan pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 7,2% dibanding 2013.

Perlambatan pertumbuhan pada 2015 antara lain disebabkan pelemahan daya beli konsumen lokal menyusul depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlambatan perekonomian Indonesia, serta anjloknya harga komoditas dunia.

Dari nilai pasar tersebut, sekitar 20% dipasok produk impor dan 80% masih dikuasai produsen lokal, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Produk impor sebagian besar didominasi produk ilegal yang masuk secara selundupan untuk menghindari bea masuk, sehingga harganya 40% lebih murah dibanding produk lokal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 5 tahun terakhir, rata-rata impor TPT naik 19,9%, ekspor naik 6,8%, sedangkan konsumsi masyarakat naik 18,3%. Kondisi ini dapat bahwa pasar pertumbuhan dipasar domestik digerogoti barang impor, sedangkan ekspor tidak tumbuh signifikan.

Sementara menurut data kalkulasi Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) yang bersumber dari Bank Indonesia, daya beli masyarakat dalam 5 tahun terakhir terus meningkat dimana konsumsi tekstil naik dari 1,21 juta ton ditahun 2009 menjadi 1,75 juta ton ditahun 2014. Selain didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi perkapita yang naik dari 5,03 kg ditahun 2009 menjadi 6,82 kg ditahun 2014.

Keunggulan Produk Lokal
Industri tekstil dan fashion di Indonesia sebenarnya memiliki keunggalan dibanding pesaing di dunia. Hal itu terlihat dari sekitar 200 merek pakaian (fashion brand) dunia diproduksi di Indonesia, seperti Zara, Adidas, Nike, The North Face, Amer Group, Salomon, Arcteryx, Calvin Klein, dan H&M.

Syaiful Bahri, Anggota Asosiasi Petekstilan Indonesia (API) bidang Data dan Informasi, menjelaskan potensi keterlibatan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk ternama di dunia akan terus bertambah. “Kemarin saya mendata sekitar 150 sampai 200 merek dunia diproduksi di Indonesia,” ujar Syaiful.

Dia menilai potensi keterlibatan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk ternama di dunia akan terus bertambah. Menurut dia, dari total produk dengan merek terkenal di dunia juga masih bisa bertambah dari total yang ada saat ini. “Yang pakai Zara, itu produk asli sini, diproduksi di Indonesia,” tambahnya.

Menurut dia, pemerintah harus terus memberikan fasilitas dan juga dorongan kepada industri tekstil yang padat karya di Indonesia. “Bagaimana pemerintah merawat industri ini, jangan temen-temen kita sudah tanam kepercayaan malah tidak berdaya karena kondisi yang tidak kondusif,” tutupnya.

Ketua Umum Asoasiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menambahkan memang banyak produk fashion ternama asal luar negeri yang diproduksi di Indonesia. Namun, daya saing produsen-produsen asal Indonesia ini masih kalah dibandingkan negara lain.

“Semua produsen dalam negeri memproduksi produk yang sama, seperti untuk H&M, tapi memiliki kualitas produk berbeda-beda, seperti soal kebersihan atau kerapihan,” ujar Ade Sudrajat.

Dia menjelaskan, produsen pakaian di Indonesia ini biasanya mendapatkan order dari perusahaan fashion tersebut untuk membuat sebuah model pakaian yang ditentukan. “Tapi itu bukan hanya di Indonesia saja, di negara lain juga ada. Jadi kalau terjadi bencana di suatu negara, negara lain bisa men-support produk yang sama, meskipun secara volume berkurang. Karena perusahaan (fashion) itu kan kelas dunia, jadi butuh dukungan produk yang banyak,” lanjutnya.

Ade mencontohkan, merek seperti Zara yang diproduksi oleh produsen Citra Busana, Bogor atau merek Van Heusen yang diproduksi Metro Garmen, Bandung. “Ada jas untuk Hugo Boss diproduksi di Bandung, Calvin Klein juga di Bandung, H&M di Jawa Tengah, atau Uniqlo ada di Tangerang dan Majalengka. Mereka dapat order,” kata Ade.

Namun, produk-produk asal Indonesia masih harus bersaing dengan produk yang diproduksi di negara lain seperti dari China atau Vietnam. “Kami belum bisa mendominasi porsi pasar mereka. Misalnya dari omzet US$ 1 juta, US$ 500 ribunya berasal dari Vietnam dan China. Padahal secara harga, kita lebih kompetitif dibandingkan dengan China,” tandas Ade.(*)

Sumber: di sini